“Kalau saya menjadi bangsa Indonesia, saya akan bilang bahwa saya tidak mau sebuah buku sejarah yang diciptakan oleh negara. Saya mau melihat bahan-bahannya: surat, memoar, catatan harian, laporan dari zaman Belanda, dan saya akan membuat kesimpulan saya sendiri.”
— Peter Carey, sejarawan Inggris, spesialis Indonesia.
Pernyataan ini disampaikan oleh Prof. Peter Carey dalam sebuah video pendek podcast yang viral di media sosial. Sebagai seorang akademisi yang telah lebih dari separuh hidupnya meneliti sejarah Jawa dan Pangeran Diponegoro, kritik Carey bukan sekadar reaksi spontan terhadap proyek penyusunan ulang buku sejarah nasional oleh pemerintah Indonesia. Ia sedang mengingatkan tentang fondasi etis dan intelektual dalam menulis sejarah: bahwa masa lalu bukanlah milik satu narasi resmi, tapi hasil dari pergulatan banyak suara, banyak luka, banyak tafsir.
Lantas, apakah sikap seperti Carey adalah cara berpikir “Barat”? Ataukah ini justru panggilan universal untuk menjaga integritas kolektif kita sebagai bangsa?
Narasi Tunggal dan Daya Kritik yang Tumpul
Di banyak negara pascakolonial, sejarah nasional sering kali ditulis ulang bukan semata-mata untuk memperkaya pengetahuan publik, tetapi untuk menata ulang identitas politik sesuai kepentingan rezim yang sedang berkuasa. Ini yang disebut oleh banyak sejarawan sebagai sejarah yang top-down, bukan bottom-up. Narasi besar dibuat seolah final—tanpa memberi ruang bagi memoar alternatif, pengalaman lokal, atau bahkan suara korban.
Carey tidak menolak buku sejarah nasional. Ia menolak sejarah yang diciptakan tanpa akuntabilitas sumber, dan yang disajikan sebagai dogma, bukan diskusi.
Di titik ini, kita sebagai pembaca sejarah—terutama generasi muda—perlu bertanya:
Apakah sejarah yang kita pelajari membuat kita berpikir, atau sekadar menghafal?
Sejarah Sebagai Latihan Berpikir, Bukan Hafalan
Peter Carey bukan satu-satunya yang menyerukan keterbukaan sumber sejarah. Di Jepang, Korea Selatan, bahkan Vietnam pasca-otoritarianisme, telah muncul kesadaran kolektif bahwa warga perlu diberi akses pada arsip, catatan harian, surat-menyurat, dan laporan resmi agar dapat membentuk pemahaman sejarah yang lebih utuh.
Carey menempatkan sejarah bukan sekadar sebagai produk, tetapi sebagai proses berpikir. Proses ini mensyaratkan keterlibatan aktif pembaca, bukan sekadar sebagai konsumen informasi, tapi juga sebagai penafsir, penanya, dan bahkan penguji narasi.
Dalam pendekatan ini, setiap warga negara pada dasarnya adalah sejarawan kecil.
Apakah Ini “Cara Barat”?
Pertanyaan yang valid: apakah pendekatan Carey ini barat-sentris dan tidak cocok bagi negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki kompleksitas etnis, budaya, dan sejarah?
Jawabannya: tidak.
Justru, dalam tradisi Islam klasik, kita mengenal sejarawan seperti Ibn Khaldun, yang menekankan metode, kritik sumber, dan refleksi sosial dalam penulisan sejarah. Bahkan dalam tradisi lokal Nusantara seperti Babad Tanah Jawi, Serat Centhini, atau hikayat-hikayat Melayu, kita menemukan pentingnya pengalaman personal, narasi lokal, dan memori lisan.
Artinya, semangat keterbukaan sumber itu bukan milik Barat, melainkan milik peradaban yang menghormati nalar dan warisan pengetahuan.
️ Antara Proyek Negara dan Hak Warga
Pemerintah tentu berhak (dan bahkan perlu) menyusun buku sejarah sebagai panduan pendidikan nasional. Tapi yang dikritik Carey adalah saat buku itu dianggap sebagai satu-satunya versi kebenaran. Ini membahayakan dalam jangka panjang:
- Menumpulkan daya refleksi dan kritik masyarakat.
- Menyembunyikan sisi gelap sejarah (korupsi, kekerasan, pengkhianatan, atau pembungkaman suara minoritas).
- Menjadikan sejarah alat legitimasi kekuasaan, bukan cermin bangsa.
Sebaliknya, ketika negara membuka akses ke arsip, memoar, catatan kolonial, dan testimoni rakyat kecil, maka bangsa ini memiliki alat untuk menyembuhkan diri, meninjau ulang, dan tidak jatuh pada pengulangan kesalahan.
️ Belajar dari Sejarah, Bukan Menggunakannya
Pernyataan Peter Carey juga menyentil sesuatu yang lebih dalam:
Bahwa bangsa yang peduli sejarah bukan yang paling banyak mencetak buku sejarah, tapi yang berani menghadapinya apa adanya.
Ini bukan hanya soal akademis, tapi juga soal keberanian moral. Seperti orang yang dewasa karena berani mengakui kesalahan masa lalunya, sebuah bangsa pun hanya bisa matang jika ia memberi ruang bagi luka sejarah untuk bicara—bukan ditutupi oleh narasi resmi.
✍️ Penutup: Sejarah Sebagai Cermin, Bukan Etalase
Pernyataan Peter Carey bisa saja terdengar sederhana, tapi ia mengandung kekuatan besar: menggeser cara kita memandang sejarah dari benda yang dipajang ke cermin yang menatap balik ke kita.
Jika sejarah hanya menjadi etalase kebanggaan, maka kita hanya ingin melihat yang indah. Tapi jika sejarah dijadikan cermin, maka kita siap menghadapi borok dan luka, karena hanya dengan itu kita bisa memperbaiki arah langkah ke depan.
Dan bukankah itu inti dari sejarah—bukan untuk menyesali masa lalu, tapi untuk lebih bijak menghadapi masa kini?
“Artikel ini merupakan hasil kolaborasi terarah dengan ChatGPT. Semua isi dikurasi dan disunting ulang berdasarkan nalar sendiri dan bukan berhalusinasi, diupayakan selalu merujuk pada referensi jurnal yang bisa digoogling kapan saja.”
Referensi:
- Video Instagram: Peter Carey, “Kalau Saya Menjadi Bangsa Indonesia…” https://www.instagram.com/reel/DL6c_h5RUCl/
- Carey, Peter. The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785–1855. Brill, 2007.
- Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah. Tiara Wacana, 2008.
- Jenkins, Keith. On “What is History?”. Routledge, 1995.









